Ronggeng Dukuh Paruk:
Eksploitasi Seks Tanpa Pornografi
Gending kutut manggung adalah sebuah langen swara berahi yang digubah demikian halus, penuh selera estetis dan jelas sekali dari wawasan tentang
kehidupan yang mendasar. Kutut manggung adalah
penghayatan atas naluri keprimitifan berahi
dalam tertib nilai tertentu sehingga
terjadi beda antara berahi manusia
dan berahi munyuk.
(RDP hlm. 300)
/1/
Realita hidup manusia adalah seks. Seks – sesuatu yang selama ini selalu disembunyikan dan tidak boleh dibicarakan secara terbuka di depan umum – merupakan salah satu tabu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Padahal, seks merupakan persoalan yang sangat mendasar. Manusia lahir dan ada karena seks, dua insan berlainan jenis bersebadan sehingga melahirkan seorang bayi manusia.[1]
Pembicaraan tentang seks – dalam konteks masyarakat Indonesia – selalu diasosiasikan sebagai sesuatu yang berbahaya, tetapi sangat dikejar sebagai kenikmatan.[2] Masyarakat umumnya masih alergi untuk membicarakan seks secara terbuka karena pemerintah sendiri selalu memolitisasi seks dengan cara menutup-nutupi perilaku para pejabat atau aparat pemerintahan yang melakukan seks menyimpang demi kepuasan atau kenikmatan seksualnya.
Seks selalu dibicarakan dalam konteks yang kotor, jorok, dan tidak senonoh serta hal-hal negatif lainnya. Padahal, jika mau jujur, seks selalu memberi kenikmatan dan tidak jarang pula seks menciptakan daya kreasi seseorang.[3] Orang semestinya tidak perlu malu untuk membicarakan sentuhan-sentuhan menggairahkan dalam seks dan persebadanan karena seks merupakan sesuatu yang alami dan kodrati dalam diri manusia. Pembicaraan tentang seks seharusnya menyangkut seks sebagai kondisi alamiah sejati dan murni dari setiap individu dengan keunikan masing-masing. Seks sebagai bentuk hubungan antarmanusia yang paling mendasar, intens, terbuka, dan jujur.
Seks sangat ditabukan, tetapi pemerintah memberi izin tempat praktik prostitusi dan lokalisasi kemaksiatan. Tampaknya pemerintah secara sembunyi-sembunyi telah mengalihkan kenikmatan itu dari alam serba diam ke alam serba uang. Rumah pelacuran adalah salah satu tempat yang menerima seksualitas menyimpang; pelacur, pelanggan, dan mucikari.[4]
Seks dapat mengungkapkan banyak hal tentang manusia karena manusia seutuhnya adalah seksual. Setiap tingkah dan lakunya selalu diresapi oleh identitas seksnya yaitu gradasi kelelakian atau keperempuanan seseorang. Seluruh karakter dirinya dipengaruhi oleh seksualitas sejak lahir. Identitas diri yang pertama adalah seks, laki-laki atau perempuan.[5] Jadi, memahami seks berarti memahami manusia seutuhnya sekaligus memahami sebuah masyarakat, sebuah kebudayaan, dan juga memahami cara kerja sebuah kekuasaan dalam masyarakat. Seks merupakan permasalahan mendasar yang terkait erat dengan bentuk-bentuk elementer dari kekerabatan. Tabu incest bukan melarang perbedaan, melainkan membeda-bedakan, ini boleh itu tidak, itu boleh yang ini tidak.[6]
Pemahaman manusia seutuhnya itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan pola pikir masyarakatnya, baik melalui berbagai buku teori, maupun melalui karya sastra. Meskipun karya sastra itu merupakan pandangan sepihak dari sang sastrawan, masih dapat ditemukan gagasan, ide, atau amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Mungkin saja fakta yang ada dalam karya sastra bukan fakta yang sesuai dengan realita hidup manusia dalam masyarakat, melainkan mungkin merupakan penentangan atau penilaian atas fakta tersebut.
Berkaitan dengan hal itu, catatan kecil ini merupakan percobaan pemahaman fakta seksualitas yang terbingkai dalam karya sastra novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. Pemahamannya tidak akan dibatasi hanya pada akar tradisi seks di tempat pengarangnya berada, tetapi percobaan pemahaman dengan meletakkan seks dalam bingkai yang lebih luas.
[1] Foucault 1997 hlm. 17
[2] Gunawan 2000 hlm. 171 dan Foucault 1997 hlm. 63
[3] Arswendo Atmowiloto mengatakan bahwa dalam hal tertentu khususnya seks, bahasa Indonesia dan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Bahkan, untuk kata ganti alat kelamin yang dibukukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun dihindarkan penggunaannya, diganti dengan bahasa asing. Sebab pemakaian bahasa Indonesia yang resmi, yang baik dan benar, terkesan menjadi kasar, cemar, barbar, dan vulgar. Judul film Namaku Dick akan ditolak sensor jika misalnya ditulis Namaku Titit atau Namaku Kon***, maaf, di sini pun tidak bisa dituliskan lengkap. Demikian juga judul pementasan teater Vagina Monolog dan bukan monolog yang lebih kita miliki. Seakan dengan menyebutkan Dick atau Mr.Happy, atau Vagina, pembicaraan menjadi lebih sopan, menjadi santun, anggun, berkelas, dan lebih beradap. Sebaliknya, penggunaan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar malah menjadi biadab.
[4] Lihat Foucault 1997 hlm. 3
[5] Lihat Gunawan 2000 hlm. 5
[6] Lihat Gunawan 2000 hlm. 38
Eksploitasi Seks Tanpa Pornografi
Gending kutut manggung adalah sebuah langen swara berahi yang digubah demikian halus, penuh selera estetis dan jelas sekali dari wawasan tentang
kehidupan yang mendasar. Kutut manggung adalah
penghayatan atas naluri keprimitifan berahi
dalam tertib nilai tertentu sehingga
terjadi beda antara berahi manusia
dan berahi munyuk.
(RDP hlm. 300)
/1/
Realita hidup manusia adalah seks. Seks – sesuatu yang selama ini selalu disembunyikan dan tidak boleh dibicarakan secara terbuka di depan umum – merupakan salah satu tabu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Padahal, seks merupakan persoalan yang sangat mendasar. Manusia lahir dan ada karena seks, dua insan berlainan jenis bersebadan sehingga melahirkan seorang bayi manusia.[1]
Pembicaraan tentang seks – dalam konteks masyarakat Indonesia – selalu diasosiasikan sebagai sesuatu yang berbahaya, tetapi sangat dikejar sebagai kenikmatan.[2] Masyarakat umumnya masih alergi untuk membicarakan seks secara terbuka karena pemerintah sendiri selalu memolitisasi seks dengan cara menutup-nutupi perilaku para pejabat atau aparat pemerintahan yang melakukan seks menyimpang demi kepuasan atau kenikmatan seksualnya.
Seks selalu dibicarakan dalam konteks yang kotor, jorok, dan tidak senonoh serta hal-hal negatif lainnya. Padahal, jika mau jujur, seks selalu memberi kenikmatan dan tidak jarang pula seks menciptakan daya kreasi seseorang.[3] Orang semestinya tidak perlu malu untuk membicarakan sentuhan-sentuhan menggairahkan dalam seks dan persebadanan karena seks merupakan sesuatu yang alami dan kodrati dalam diri manusia. Pembicaraan tentang seks seharusnya menyangkut seks sebagai kondisi alamiah sejati dan murni dari setiap individu dengan keunikan masing-masing. Seks sebagai bentuk hubungan antarmanusia yang paling mendasar, intens, terbuka, dan jujur.
Seks sangat ditabukan, tetapi pemerintah memberi izin tempat praktik prostitusi dan lokalisasi kemaksiatan. Tampaknya pemerintah secara sembunyi-sembunyi telah mengalihkan kenikmatan itu dari alam serba diam ke alam serba uang. Rumah pelacuran adalah salah satu tempat yang menerima seksualitas menyimpang; pelacur, pelanggan, dan mucikari.[4]
Seks dapat mengungkapkan banyak hal tentang manusia karena manusia seutuhnya adalah seksual. Setiap tingkah dan lakunya selalu diresapi oleh identitas seksnya yaitu gradasi kelelakian atau keperempuanan seseorang. Seluruh karakter dirinya dipengaruhi oleh seksualitas sejak lahir. Identitas diri yang pertama adalah seks, laki-laki atau perempuan.[5] Jadi, memahami seks berarti memahami manusia seutuhnya sekaligus memahami sebuah masyarakat, sebuah kebudayaan, dan juga memahami cara kerja sebuah kekuasaan dalam masyarakat. Seks merupakan permasalahan mendasar yang terkait erat dengan bentuk-bentuk elementer dari kekerabatan. Tabu incest bukan melarang perbedaan, melainkan membeda-bedakan, ini boleh itu tidak, itu boleh yang ini tidak.[6]
Pemahaman manusia seutuhnya itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan pola pikir masyarakatnya, baik melalui berbagai buku teori, maupun melalui karya sastra. Meskipun karya sastra itu merupakan pandangan sepihak dari sang sastrawan, masih dapat ditemukan gagasan, ide, atau amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Mungkin saja fakta yang ada dalam karya sastra bukan fakta yang sesuai dengan realita hidup manusia dalam masyarakat, melainkan mungkin merupakan penentangan atau penilaian atas fakta tersebut.
Berkaitan dengan hal itu, catatan kecil ini merupakan percobaan pemahaman fakta seksualitas yang terbingkai dalam karya sastra novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari. Pemahamannya tidak akan dibatasi hanya pada akar tradisi seks di tempat pengarangnya berada, tetapi percobaan pemahaman dengan meletakkan seks dalam bingkai yang lebih luas.
[1] Foucault 1997 hlm. 17
[2] Gunawan 2000 hlm. 171 dan Foucault 1997 hlm. 63
[3] Arswendo Atmowiloto mengatakan bahwa dalam hal tertentu khususnya seks, bahasa Indonesia dan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Bahkan, untuk kata ganti alat kelamin yang dibukukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun dihindarkan penggunaannya, diganti dengan bahasa asing. Sebab pemakaian bahasa Indonesia yang resmi, yang baik dan benar, terkesan menjadi kasar, cemar, barbar, dan vulgar. Judul film Namaku Dick akan ditolak sensor jika misalnya ditulis Namaku Titit atau Namaku Kon***, maaf, di sini pun tidak bisa dituliskan lengkap. Demikian juga judul pementasan teater Vagina Monolog dan bukan monolog yang lebih kita miliki. Seakan dengan menyebutkan Dick atau Mr.Happy, atau Vagina, pembicaraan menjadi lebih sopan, menjadi santun, anggun, berkelas, dan lebih beradap. Sebaliknya, penggunaan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar malah menjadi biadab.
[4] Lihat Foucault 1997 hlm. 3
[5] Lihat Gunawan 2000 hlm. 5
[6] Lihat Gunawan 2000 hlm. 38